Jumat, 30 Oktober 2009

KETIKA TUHAN DIAM SAJA

"Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan Tuhan akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah"
Yesaya 58:9

Kita seringkali meminta kepada Tuhan dalam doa kita: "Tuhan, tolong. Beritahu aku apakah kehendak-Mu. Mohon dengarkanlah seruanku, dan mendekatlah kepadaku! Aku mencoba mendekat kepada-Mu, Tuhan!" Namun, banyak di antara kita sudah berdoa lagi dan lagi, tanpa merasakan sentuhan Allah. Mengapa Ia tidak menjawab?

Allah berkata, "Kembalilah kepada-Ku, demikianlah firman Tuhan semesta alam, maka Akupun akan kembali kepadamu, firman Tuhan semesta alam" (Zakh. 1:3). Tapi Tuhan, aku mencari jawaban-Mu sepanjang hari! Aku ingin mematuhi perintah-Mu! Aku melakukan segala yang dapat kulakukan!"

Apa iya?

Menjawab bangsa Israel, Allah berkata, "Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi" (Yes. 58:4).

Apakah kita melakukan bagian kita ketika kita berdoa? Apakah kita bahkan berpikir untuk merubah cara-cara kita bertindak dan berbicara? Apakah kita sungguh-sungguh berkomitment melakukan setidaknya separuh dari apa yang kita doakan? Apakah kita sungguh-sungguh kembali kepada Allah?

Mungkin bila kita menghadapi doa-doa seakan-akan Allah sedang berlibur, kita perlu bertanya kepada diri sendiri, "Apakah yang kulakukan ketika aku berdoa? Apakah aku mencoba menjadi lebih baik? Apakah aku masih hidup dalam gaya hidupku yang lama? Apakah aku membuat permusuhan dengan orang lain setelah berdoa?"

Kadang-kadang Allah hanya mengharapkan kita untuk lebih bersabar dan menunggu jawaban-Nya tiba pada waktunya. Di waktu lain, Ia menunggu kita merubah sikap kita saat kita memohon kepada-Nya. Ia menunggu permohonan-permohonan kita yang keluar dari lubuk hati. Ia menunggu permohonan-permohonan kita diikuti dengan tindakan nyata.

Dan barulah setelah itu,

"Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan Tuhan barisan belakangmu. Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan Tuhan akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah" (Yes. 58:8-9)

Allah selalu mendengar. Tetapi Ia juga menunggu. Ia menunggu kita melakukan bagian kita.

Renungan:
Apakah bagianmu dalam doa kepada Allah?

KASIH SEORANG SAHABAT

KASIH SEORANG SAHABAT
Kis. 10:44-48; Mzm. 98:1-9; I Yoh. 5:1-6; Yoh. 15:9-17
Pengantar
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah dia membutuhkan seorang sahabat. Dalam setiap aspek kehidupan di mana seseorang berada sebenarnya manusia membutuhkan seorang teman. Apabila kita bekerja di suatu tempat yang baru, kita membutuhan seseorang atau beberapa teman di mana kita dapat berelasi dengan akrab. Ketika kita harus berada dalam suatu pertemuan, kita membutuhkan seseorang yang minimal sedikit memberi keramahan dan relasi yang membuat kita dapat betah di tempat itu.
Kita tidak dapat membayangkan kesedihan anak-anak kita ketika mereka di sekolah tidak memiliki teman. Pastilah anak-anak kita tersebut akan merasa terkucilkan dan timbul perasaan diri tidak berharga (minder). Mereka juga tidak akan dapat menikmati suasana proses belajar mengajar dengan baik. Mereka akan mudah merasa tertekan, jenuh dan kehilangan semangat belajar. Dengan kondisi yang demikian, prestasi studi mereka akan merosot. Selain itu mereka akan terhambat dalam pertumbuhan mental, emosi dan kerohanian mereka. Demikian pula dalam kehidupan jemaat. Sepanjang pengamatan, saya jumpai anggota jemaat yang tidak memiliki teman akan cenderung pindah atau memilih tidak ke gereja. Sebaliknya semakin para anggota di suatu jemaat memiliki kecenderungan untuk berlaku ramah, mampu membuka diri untuk berelasi dan peduli kepada sesama maka umumnya gereja tersebut berkembang dengan baik. Sehingga suatu jemaat yang bersifat dingin, formal, acuh tak acuh, dan jauh dari keramahan akan cenderung merosot dan tak lama kemudian akan tidak berfungsi alias mati. Penelitian dari para ahli tentang teologia Pembangunan Jemaat senantiasa menempatkan relasi persahabatan (hubungan kasih yang akrab) sebagai salah satu syarat utamanya. Kalau kita tidak mungkin menjadikan semua orang menjadi sahabat, minimal perlakukan semua orang di jemaat tersebut dengan sikap akrab dan penuh kepedulian. Sebab dasar utama tujuan dari gereja Tuhan Yesus pada hakikatnya untuk mewujudkan dan menghadirkan persekutuan kasih di tengah-tengah dunia. Pilar utama dari hakikat panggilan gereja adalah: persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia). Ketiga pilar panggilan gereja Tuhan tersebut semuanya didasarkan oleh kasih Kristus kepada umat percaya dan sesama manusia.
Nilai Persahabatan
Namun dalam praktek kehidupan kita menyadari bahwa tidaklah mudah bagi kita untuk memiliki seorang sahabat sejati. Kita mungkin mampu menjalin relasi dengan banyak orang, tetapi tidaklah mudah menjadikan salah seorang dari mereka sebagai teman yang baik. Sejujurnya tidak setiap orang memiliki seorang sahabat. Sebab kategori seorang sahabat sebenarnya bukan sekedar orang-orang yang dapat akrab dengan kita. Keakraban hanyalah pintu masuk bagi kita untuk menemukan seorang sahabat. Sebab makna seorang sahabat sejati sebenarnya mengandung kesediaan menyatakan kasih secara total. Seorang sahabat akan memberi perhatian yang sedang kita lakukan dan pikirkan. Dia tidak hanya peduli pada saat yang menyenangkan, tetapi juga pada saat kita mengalami kegagalan dan kedukaan. Seorang sahabat selalu mengerti apa yang sedang kita kerjakan sehingga dia akan mengatakan keadaan diri kita yang sesungguhnya. Pada sisi lain dia tidak mau mendengarkan gosip atau keburukan tentang diri kita. Seorang sahabat akan mendukung kita setiap waktu, tetapi juga akan mencegah kita untuk melakukan sesuatu yang salah. Selain itu seorang sahabat tidak akan bersaing dengan diri kita, tetapi selalu mendorong agar kita makin berprestasi dan berkembang meraih cita-cita. Dia tulus dan bahagia saat kita berhasil, tetapi selalu menghibur saat kita sedih dan mengalami kesulitan. Jadi yang jelas seorang sahabat adalah seorang pribadi yang dianugerahkan Allah untuk menjadi bagian dari kehidupan kita. Tanpa kehadirannya hidup kita terasa tidak lengkap. Dalam kitab Perjanjian Lama kita dapat melihat wujud nilai persahabatan seperti yang dipaparkan di atas dalam diri Daud dengan Yonatan. Walaupun ayah Yonatan yakni raja Saul sangat membenci dan ingin membunuh Daud, tetapi hubungan persahabatan Yonatan dan Daud tetap tidak terpisahkan. I Sam. 18:1 menyaksikan bagaimana kedalaman persahabatan antara Daud dengan Yonatan, yakni: “Ketika Daud habis berbicara dengan Saul, berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri”. Kriteria utama seorang sahabat adalah mampu mengasihi seperti jiwanya sendiri. Seorang sahabat selalu mampu menyingkirkan segala egoisme dan kepentingan dirinya, sehingga dia tidak pernah menjadikan sahabatnya sekedar suatu obyek. Sebab kehadiran seorang sahabat dihayati sebagai bagian utama dalam kehidupan pribadinya. Seorang sahabat selalu mengutamakan kesetiaan dan pengurbanan, dan tidak segan mengurbankan hidupnya. Nilai persahabatan inilah yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Tuhan Yesus.
Allah Menjadikan Kita SahabatNya
Apabila persahabatan merupakan sesuatu yang dapat diupayakan oleh setiap orang, maka apa maknanya ketika Yesus berkata: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh. 15:15). Apa maknanya ketika Tuhan Yesus menyebut kita sebagai sahabatNya? Kalau kita sebagai insan manusia sebenarnya mampu menjalin persahabatan dengan sesama, mengapa kita harus menjadi sahabat Yesus yang secara fisik tidak pernah kita kenal? Bukankah lebih relevan jikalau kita menjalin persahabatan dengan sesama di sekitar kita dari pada menjadi sahabat Yesus? Selain itu apabila persahabatan juga dapat dijalin oleh siapa saja, bahkan para penjahat juga memiliki seorang sahabat yang setia; mengapa kita harus diajar oleh Yesus tentang kasih seorang sahabat? Asal saja kita mampu bersikap akrab, terbuka, peduli dan dapat dipercaya bukankah kita dapat menjadi seorang sahabat bagi sesama kita? Jadi apa keunikan dan kekhususan dari makna persahabatan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus?
Teologi Injil Yohanes yang menjadi dasar iman Kristen menegaskan bahwa Kristus adalah inkarnasi Firman Allah, dan Firman Allah adalah Allah (Yoh. 1:1). Karena itu pola pengucapan Yesus dalam menyebut identitas diriNya selalu menggunakan “Egoo eimi” (“Aku adalah”) yang merupakan ciri dari Allah yakni Yahweh (TUHAN) dalam menyebut ke-diri-anNya (bdk. Kel. 3:14). Di Yoh. 15:1, Tuhan Yesus menyebut diriNya sebagai: "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya”. Dengan metafor sebagai “pokok anggur yang benar” (true vine), Tuhan Yesus menyatakan diriNya sebagai sumber kehidupan sehingga setiap orang yang menjadi ranting-rantingNya akan menghasilkan buah kebenaran. Dalam konteks ini Tuhan Yesus tidak pernah menyebut “nama-nama lain” (para nabi dan rasul) yang juga dapat menjadi “pokok anggur yang benar”. Hanya Dialah satu-satunya pokok anggur yang benar. Itu sebabnya setiap orang yang ingin menghasilkan buah kebenaran dan keselamatan harus terkait erat dengan Dia sebagai pokok anggur yang benar. Di luar Kristus, tidak tersedia kemungkinan keselamatan, kebenaran dan kehidupan. Itu sebabnya di Yoh. 15:4, Tuhan Yesus berkata: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku”. Jadi relasi manusia dengan Kristus pada hakikatnya tidak dapat ditawar atau direlatifkan, kalau manusia memang menginginkan suatu kehidupan yang kekal dan penuh makna! Sebab Kristus bukan sekedar seorang nabi, tetapi Dia adalah Pokok Anggur yang benar. Sehingga Tuhan Yesus adalah Pengutus yang diutus oleh Allah. Kristus adalah sumber kehidupan dan keselamatan umat manusia. Dengan demikian Kristus sebagai wujud inkarnasi Firman Allah yang berkenan hadir dalam sejarah kehidupan umat manusia pada hakikatnya adalah Allah yang berkenan datang untuk bersahabat dengan kita. Lebih tepat lagi Allah di dalam Kristus datang untuk memulihkan hubungan kita yang telah dirusak oleh dosa. Sehingga dengan karya penebusanNya, Kristus mengangkat kita sebagai anak-anak Allah sekaligus menjadi para sahabat Allah. Umat manusia yang semula hanya berkedudukan sebagai seorang hamba atau budak (Arab atau Ibrani: abd’) kini diubah status dan relasinya oleh karya penebusan Kristus. Jadi tanpa karya penebusan Kristus, kedudukan umat manusia yang sejak awal hanyalah para budak atau hamba tidaklah mungkin dapat dipulihkan menjadi anak-anak Allah dan para sahabat Allah. Pemulihan status dan relasi tersebut merupakan anugerah dan kasih Allah. Tanpa karya keselamatan Allah di dalam Kristus, maka umat manusia dengan segala upaya kebajikan, perbuatan baik atau amal ibadahnya tidak akan mampu mengubah dan memulihkan statusnya di hadapan Allah. Prinsip teologis keselamatan inilah yang membedakan iman umat Kristen dengan pengajaran agama-agama lain. Sebab dalam pengajaran agama-agama lain, dalam statusnya sebagai seorang “hamba Allah”, manusia dapat berkenan di hadapan Allah asalkan mereka mampu melakukan hukum dan peraturan-peraturanNya. Semakin banyak dia berhasil melakukan ketentuan dari peraturan Allah, maka dia akan memperoleh “kredit point” (pahala) sehingga akan mengurangi beban dosa yang pernah diperbuatnya. Padahal dalam iman Kristen, upaya untuk memperoleh prestasi rohani (pahala) tersebut tidaklah mungkin. Dalam statusnya sebagai seorang budak, manusia tidak akan mengetahui kehendak Allah yang sesungguhnya. Tuhan Yesus berkata: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh. 15:15). Bukankah pengajaran Tuhan tersebut sangat logis dan realistis? Kita tidak akan pernah mengetahui isi hati Allah selama status dan relasi kita hanya sebagai seorang budak atau hamba. Selain itu seorang yang berstatus sebagai budak akan melakukan kehendak Allah dengan mental atau jiwa seorang budak. Dia melakukan perintah Allah hanya didasari oleh perasaan takut dan bukan karena kasih yang tulus. Sebaliknya perintah Allah akan efektif dilaksanakan sejauh didasari oleh relasi yang benar di dalam kasih.Kasih Seorang Sahabat
Kegagalan kita melakukan kehendak Allah dan firmanNya adalah disebabkan relasi personal yang belum sepenuhnya dipulihkan oleh Kristus. Karena kuasa dosa, relasi kita dengan Allah masih dalam kondisi bermasalah, walaupun dari sudut status gerejawi kita telah berhak menyandang predikat sebagai anak-anak Allah. Di tengah-tengah kehidupan duniawi ini betapa rentannya diri kita menghadapi kuasa dosa. Ternyata hidup kita belum sepenuhnya kita serahkan kepada Kristus untuk menjadi alat dalam karya keselamatanNya. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari kita masih sering menjadi budak dosa yang gemar melayani berbagai hawa-nafsu dan egoisme dengan kesetiaan seorang budak. Status selaku anak-anak Allah tidak akan efektif apabila tidak didasari oleh relasi yang dipulihkan oleh darah salib Kristus. Itu sebabnya pemulihan relasi dengan Kristus secara personal merupakan syarat terwujudnya kasih yang murni, yakni kasih seorang sahabat. Yang mana pemulihan relasi dengan Kristus harus terjadi dalam setiap aspek dan momen dalam kehidupan kita. Jadi pemulihan relasi tersebut tidaklah cukup hanya terjadi dalam suatu momen dalam peristiwa hidup kita. Sebab makna kasih seorang sahabat adalah mau berjalan bersama dengan Kristus agar hidup kita selalu diperbaharui olehNya. Bukankah setiap momen dalam perjalanan hidup kita seharusnya menampakkan bekas jejak-jejak spiritualitas bersama dengan Kristus? Pada pihak lain pemulihan relasi juga tidaklah cukup hanya terjadi dalam salah satu aspek kehidupan kita saja. Misalnya: Dalam kehidupan rohaniah berupa pelayanan gerejawi mungkin kita tergolong sangat setia, tetapi dalam kehidupan sekuler di tengah-tengah pekerjaan ternyata kita masih menjadi budak dosa. Sebaliknya tidaklah cukup kehidupan sehari-hari dalam pekerjaan ditandai oleh kekayaan rohani, tetapi kita tidak peduli dengan pergumulan anggota jemaat dan tugas pelayanan gerejawi. Pemulihan relasi personal dengan Kristus senantiasa mencakup pemulihan yang holistik, utuh dan menyeluruh.
Karena itu sikap pengorbanan yang didasari oleh kasih seorang sahabat seharusnya tidak pernah bersifat parsial (berat sebelah), sepotong-potong dan subyektif. Dia tidak boleh hanya setia kepada salah seorang sahabatnya tetapi membenci orang-orang yang memusuhi sahabatnya. Karena kasih Kristus akan mendorong dia untuk selalu mencintai semua orang termasuk para musuh/lawan dari sahabatnya. Sebaliknya kasih Kristus akan memampukan dia untuk selalu bersikap adil, tidak memihak dan mengutamakan kebenaran. Kasihnya kepada sahabat yang selama ini mendampingi dia tidak membutakan mata rohaniah untuk selalu bersikap obyektif. Dia akan mengatakan hal yang benar apabila sahabatnya bersalah agar sahabatnya tetap hidup di dalam kasih Kristus. Mungkin sahabatnya dapat marah dan sangat kecewa karena dia tidak mau membelanya. Tetapi dengan penuh kesabaran dan kelembutan kasih, dia akan mengingatkan bahwa tugas utama yang diembannya adalah menghadirkan Kristus yang telah memanggil dia dan sahabatnya untuk berbuah kebenaran. Di Yoh. 15:16, Tuhan Yesus berkata: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu”. Pemilihan Kristus yang berkenan menjadikan kita sebagai para sahabatNya harus ditandai dengan kehidupan yang selalu berbuah keadilan, kebenaran dan buah Roh (Gal. 5:22-23). Dengan demikian makna pemilihan Kristus yang berkenan menjadikan kita para sahabatNya harus selalu ditandai oleh tanggungjawab kasih, bahkan kesediaan untuk berkorban.
Dalam hal inilah Kristus sebagai sahabat yang sejati telah membuktikan kasih dan kesetiaanNya dengan rela berkurban. Kristus tidak hanya mengajar makna menjadi sahabat yang sejati. Tetapi Dia terlebih dahulu telah membuktikan bagaimana Dia berperan sebagai seorang sahabat bagi sesamaNya. Di Yoh. 15:13, Tuhan Yesus berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. Seorang sahabat sejati tidak akan pernah mengorbankan orang lain atau sesamanya agar dia sendiri yang selamat. Sebaliknya seorang sahabat sejati selalu bersedia mengurbankan (sacrifice) hidupnya asalkan sahabat dan sesamanya selamat. Karena itu makna dan nilai persahabatan yang didasari oleh kasih Kristus tidak pernah bersifat eksklusif, tetapi inklusif. Sebab persahabatan yang didasari oleh kasih Kristus tidak pernah tertuju kepada satu kelompok tertentu, tetapi tertuju kepada setiap umat. Kasih Kristus Yang Membongkar Tembok Pemisah
Pola persahabatan duniawi selalu mengedepankan sikap yang eksklusif, yang mana makna kasih dan kesetiaan seorang sahabat hanya ditujukan kepada satu atau sekelompok orang. Akibatnya pola persahabatan yang demikian justru sering menciptakan tembok atau sekat-sekat dalam kehidupan bersama. Saat ini kita hidup dalam sekat-sekat yang semakin tebal. Relasi kita makin dipisahkan oleh sekat etnis, sekat tingkat sosial-ekonomi, sekat hobi, sekat agama, sekat ideologis, dan berbagai sekat lain. Padahal pada sisi lain seperti media komunikasi, mode pakaian, makanan, perdagangan, dan transfer ilmu pengetahuan makin bergerak ke arah global. Umat manusia pada masa kini telah berada dalam peradaban global tetapi dalam hidup sehari-hari makin dikurung dalam tembok beton yang memisahkan kita dalam persahabatan yang tulus dan terbuka. Media telekomunikasi yang serba canggih tidak akan berhasil menerobos sekat-sekat psikologis yang seharusnya merupakan pintu kekayaan pengalaman iman dan spiritualitas. Penyebabnya mereka hanyalah sekedar alat buatan manusia. Kecanggihan dan daya jangkau semua peralatan tersebut tak mampu memasuki dan menerobos dunia batiniah manusia yang paling dalam. Karena itu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah kehadiran Kristus sebagai sahabat sejati. Hanyalah Kristus yang berkuasa menerobos setiap sekat batiniah yang memisahkan manusia dalam keterasingannya. Kristus menerobos setiap jiwa yang membeku dalam kepongahan dunia yang fana ini dan menghadirkan pencerahan batin yang membebaskan. Karena itu Kristus tidak pernah menaklukkan manusia dengan kekuatan otot, penaklukkan secara militer, kepandaian akal budi dan kebijaksanaan dalam beragumentasi. Tetapi Dia menaklukkan setiap insan dengan kuasa kasihNya. Di Kis. 10:44-48 menyaksikan bagaimana Roh Kudus berkarya untuk membaharui dan mengaruniakan iman kepada umat yang semula tergolong kafir. Dalam kasus khusus tersebut Roh Kudus mengaruniakan karunia roh kepada orang-orang yang saat itu belum dibaptis. Bukankah fenomena tersebut sesuatu yang janggal? Seharusnya Roh Kudus bekerja setelah umat dibaptis di dalam nama Yesus Kristus. Tetapi dalam peristiwa ini telah terjadi suatu perkecualian. Sebab dalam peristiwa tersebut orang-orang yang belum percaya justru menerima terlebih dahulu karunia Roh, barulah mereka dibaptiskan dalam nama Yesus Kristus. Fenomena dari Kis. 10:45 tersebut makin menguatkan bahwa bahasa roh dikaruniakan Allah kepada orang yang belum percaya. Sebab di I Kor. 14:22 menyatakan bahwa karunia bahasa roh adalah tanda bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman. Tujuannya agar orang yang tidak percaya terlebih dahulu diteguhkan dengan karunia bahasa lidah sehingga mereka dapat percaya kepada Kristus. Karena itu karya Roh yang merupakan karya Kristus dalam kasus ini menerobos suatu ketentuan institusional gerejawi. Jadi kesaksian di Kis. 10:44-48 pada intinya mau menyatakan bahwa Kristus yang telah bangkit adalah Kristus yang bertindak secara bebas dan tidak terkungkung oleh ketentuan yang sifatnya institusional. Kristus memberikan karunia bahasa roh kepada Kornelius, para anggota keluarga dan orang-orang yang bersama dengan dia agar keyakinan mereka diteguhkan dalam iman kepada Tuhan Yesus sebagai Juru-selamatnya. Namun sayang sekali karya Kristus yang bebas dan berdaulat sering disalahgunakan bagi sekelompok orang Kristen sehingga mereka mengabaikan prinsip-prinsip institusi gerejawi. Seakan-akan prinsip-prinsip institusi gerejawi yang dilandasi oleh pemahaman teologis alkitabiah merupakan sekat-sekat yang harus dihancurkan. Bahkan makna dari I Kor. 14:22 justru dijungkir-balikkan. Karunia bahasa roh dinyatakan oleh mereka sebagai tanda untuk orang yang beriman, dan orang yang tidak memiliki bahasa roh justru dianggap oleh mereka sebagai orang yang tidak beriman!
Dari kesaksian Kis. 10, kita dapat menyaksikan bahwa Kristus yang telah bangkit adalah Tuhan yang berkenan menjadikan semua orang sebagai para sahabatNya. Melalui iman kepada Kristus, seluruh umat percaya disatukan di dalam kasihNya. Kristus datang ke dalam dunia ini untuk mendirikan Kerajaan Allah, dan realitas Kerajaan Allah tersebut adalah kerajaan kasih. Sehingga sangatlah tepat I Yoh. 5:1 berkata: “Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga Dia yang lahir dari pada-Nya”. Hakikat iman kepada Kristus harus dinyatakan di dalam tindakan kasih, sebab kasih merupakan tanda bahwa kita lahir sebagai ciptaan baru oleh kuasa penebusan Kristus. Sehingga dengan kuasa dari kasih dari Kristus yang bangkit, kita dipanggil untuk meniadakan setiap sekat yang memisahkan dan yang mengasingkan sesama. Kita dipanggil oleh Tuhan Yesus agar kita mampu memperlakukan setiap orang sebagai para sahabat Kristus. Tugas panggilan tersebut tidaklah berat. Sebab Tuhan Yesus akan menganugerahkan karunia yang paling utama yaitu karunia kasih kepada umat yang bersandar kepadaNya. Firman Tuhan berkata: “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat, sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita” (I Yoh. 5:3-4).
Panggilan Dikisahkan seorang raja yang memiliki musuh. Berulangkali musuh tersebut mencoba untuk menyerang kerajaan dari sang raja tersebut. Karena itu panglima perang dan pimpinan pasukan selalu berlatih agar tentaranya selalu siap menghadapi serangan dari lawan tersebut. Tetapi yang mengherankan hati mereka adalah sang raja pada suatu hari justru datang dan mengajak sang lawan makan bersama. Setibanya di kerajaan, panglima perang dan pimpinan pasukan bertanya, mengapa raja mau datang dan makan bersama dengan musuh tersebut. Jawab raja: dia justru telah berhasil mengalahkan musuh yang selama ini mengancam kerajaan. Karena tidak mengerti yang dimaksudkan mereka bertanya lagi yaitu apa maksudnya musuh telah dikalahkan oleh sang raja. Raja menjawab, “aku telah mengalahkan musuh kita dan telah mengubahnya menjadi sahabat kita”. Jika demikian, apakah kehidupan kita dipenuhi oleh kasih Kristus sehingga kita mampu mengubah setiap lawan menjadi para sahabat kita? Apakah kita mampu memperlakukan sahabat dengan setia dan tetap mengarahkan mereka untuk berpegang kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan? Berbahagialah jikalau lingkup persahabatan saudara selalu meluas dan menerobos tembok-tembok pemisah sehingga setiap orang dapat mengenal kasih Kristus yang tanpa batas. Benarlah pujian dari Joseph Medlicott Scriven yang menulis syair pada tahun 1885 dengan judul: “What a Friend We Have in Jesus” (KJ. 453, “Yesus Kawan Yang Sejati), karena Tuhan Yesus sungguh sahabat kita yang sejati.
Amin.

SI-GANTENG